KOMPAS.com – Harapan agar penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak ( pilkada) 2020 ditunda, terus disampaikan.
Sejumlah organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan PP Muhammadiyah, serta para ahli epidemiologi meminta pemerintah menunda Pilkada 2020.
Alasannya, dalam situasi pandemi virus corona dan kasus Covid-19 yang belum terkendali di Indonesia, tahapan pilkada dikhawatirkan memicu munculnya klaster-klaster baru.
Namun, pemerintah telah memutuskan tidak akan menunda Pilkada 2020.
Di media sosial, warganet juga memohon pemerintah menunda pesta demokrasi daerah ini.
Pada tahun ini, total ada 270 pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang akan diselenggarakan.
Tunda dong pilkada, ga ada darurat juga kok kalo ga milih. Kalian kenapa sih tolong nyawa tuh dihargai lahhh please
— Dian (@deepofme) September 23, 2020
Akun lainnya juga menyuarakan aspirasi yang hampir sama.
Alangkah baiknya jika pilkada di tunda demi kebaikan bersama…. Kasian tenaga medis di rumah sakit… Please
.
REQUEST @agnezmo @MTV #FridayLivestream— ???? AGNEZ MO (@AGoodNEZ) September 23, 2020
Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo mengatakan, Pilkada 2020 memang sebaiknya ditunda.
Penundaan tersebut dilakukan hingga wabah Covid-19 di Indonesia dapat terkendali dan kondisi sudah memungkinkan.
“Pilkada seharusnya ditunda. Waktu penyelenggaraan baru ditentukan setelah kasus positif Covid-19 harian mencapai puncak dan tren menurun,” kata Windhu saat dihubungi Kompas.com, Kamis (24/9/2020).
Ia mengatakan, jika pilkada tetap terlaksana, maka pemerintah harus mengeluarkan peraturan baru yang dijadikan dasar peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Kalau pilkada tetap nekat dilanjutkan, Presiden harus mengeluarkan Perppu(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang) yang dijadikan dasar Peraturan KPU baru,” ujar di.
Isi dalam Perppu tersebut, lanjut dia, harus mengatur beberapa hal, seperti tak mengizinkan adanya kegiatan kampanye dan sosialisasi secara langsung.
Kegiatan kampanye dan sosialisasi calon pemimpin daerah harus dilakukan secara online.
“Tidak boleh ada kegiatan kampanye dan sosialisasi dalam modalitas mana pun yang berupa tatap muka offline. Semua harus secara online atau virtual dengan menggunakan berbagai teknologi komunikasi dan informasi yang tersedia,” kata dia.
Selain itu, sistem pemungutan suara juga wajib diganti dengan tidak mendatangkan pemilih ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), melainkan melalui pos dan atau e-voting yang teknologinya sudah tersedia.
“Ini semua soal kemauan politik saja,” kata Windhu.
Menurut Windhu, hak atas kesehatan merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara yang tidak boleh dikalahkan oleh Pilkada yang merupakan instrumen demokrasi.
“HAM dan demokrasi adalah dua sisi koin mata uang yang sama,” ujar dia.
Windhu menyebutkan, kesehatan dan keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas utama.
“Pertimbangan kesehatan (dan tentu keselamatan) masyarakat harus menjadi prioritas utama di atas kepentingan ekonomi dan politik,” kata Windhu.
#Harapan #Penundaan #Pilkada #dan #Hak #atas #Kesehatan #yang #Harus #Jadi #Prioritas
Klik disini untuk lihat artikel asli