Pasca tahun 2009, nilai realisasi investasi pertambangan minerba di Indonesia meningkat pesat. Di tahun 2017, total nilai PMA dan PMDN di sektor pertambangan mencapai Rp. 46,13 triliun dan Rp11,99 triliun. Sedangkan di tahun 2019, PMA di sektor pertambangan mendulang US$683,7 juta dan mengalami kemerosotan pada April-Juni (Triwulan II) Tahun 2020 dengan jumlah US$391,6 juta.
Kenaikan ini terjadi setelah hadirnya peraturan pemerintah untuk mendukung hilirisasi di Indonesia melalui Undang Undang (UU) No. 4 Tahun 2009 (4/200). Dapat dikatakan, data realisasi investasi pertambangan minerba ini memberi kesan, bahwa peraturan pemerintah mendapatkan respon positif dari pasar.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi penanaman modal asing ke Indonesia sebesar US$6,803 juta sepanjang Triwulan I Tahun 2020.
Setidaknya ada 91 negara yang berinvestasi di Indonesia. Dari sederet negara tersebut, Singapura memimpin dengan nilai investasi terbesar. Jumlah investasinya mencapai US$ 1,95 miliar atau Rp 28,5 triliun dengan kurs Rp 14.600/USD. Selain memberi nilai investasi terbesar, Singapura juga memiliki 3.860 proyek di Indonesia sekaligus yang terbanyak dibandingkan negara lainnya.
Di peringkat kedua ada Hong Kong yang berinvestasi sekitar US$ 1,2 miliar, lalu Tiongkok sebesar US$ 1,1 miliar, Jepang dengan US$ 608,7 juta, dan Korea Selatan berinvestasi sebesar US$ 552,6 juta.
Melalui data di atas, dapat dikatakan bahwa peran investasi PMA sangat penting bagi keseimbangan ekonomi Indonesia. Jika salah satu negara investor mangkat gegara rumitnya peraturan investasi di Indonesia, keadaan tersebut merugikan dan mempengaruhi kinerja berbagai sektor.
Selain proses hilirisasi yang diatur, dalam Pasal 93 pada UU 4/2009 disebutkan bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan pengolahan dan pemurnian baik secara langsung maupun kerja sama dengan perusahaan pemilik IUP dan IUPK lainnya. Tertulis ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengolahan dan pemurnian, batasan minimum pengolahan diatur oleh Peraturan Menteri (Permen).
Diterbitkannya peraturan pemerintah di dunia pertambangan ini bagaikan ‘lingkaran setan’ yang tak ada ujungnya. Aturan pemerintah yang semakin berbelit dan berganti-ganti, hal ini mengakibatkan para investor ciutkan nyali untuk melakukan investasi ke Indonesia.
Ditambah dengan kehadiran Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengatur HPM logam dalam pasal 3 yang berbunyi, “HPM logam merupakan harga batas bawah dalam perhitungan kewajiban pembayaran iuran produksi oleh pemegang IUP/IUPK OP Mineral Logam, dan acuan harga penjualan bagi pemegang IUP/IUPK OP untuk penjualan bijih nikel”. Peraturan menteri ini adalah perubahan yang ketiga kalinya.
Dengan situasi seperti ini, bukan tidak mungkin jika nantinya investor akan ‘mangkat’ dari bisnis pertambangan di Indonesia. Pemicunya adalah ketidakpastian peraturan dan ketentuan yang berlaku bagi segenap investor. Selain itu, harga pembelian dalam negeri yang dipatok, dan harga penjualan ekspor yang ditekan menjadi salah satu kendala yang dihadapi.
Lantas, dengan peraturan dan ketentuan yang kerap berubah-ubah, mungkinkah Indonesia tetap menjadi negara ramah terhadap investasi di masa mendatang?