Demo Digital Morowali: Tidak Bikin Kerusuhan. Demokrasi tidak pernah setuju dan menghargai aksi brutal yang mengatasnamakan anti-brutalitas. Keberanian dan kebebasan adalah pelayan demokrasi. Tapi keberanian bukan kerusuhan. Berani untuk berpendapat yang berarti memiliki nyali menyatakan opini maupun argumen. Dan, bukan bebas dalam bertindak, apalagi sampai demo menimbulkan kerusuhan. Inilah yang terjadi saat demo penolakan UU Ciptaker 2020 yang berakhir kericuhan.
Namun, ada yang berbeda dari buruh di Morowali, Sulawesi Tengah. Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kabupaten Morowali melalui Rapat Koordinasi (rakor) antara pengurus serikat di kawasan PT IMIP menyatakan penolakan pengesahan UU Ciptaker.
Penolakan dinyatakan saat duduk bersama dengan pengurus dan Anggota Serikat Pekerja Nasional Kabupaten Morowali. “UU Ciptaker ini merugikan klaster ketenagakerjaan, terutama buruh dan pekerja. Kami memilih untuk menolak,” ujar Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang Morowali, Martinus Tuba.
Dirinya menambahkan, perihal yang merugikan bagi buruh adalah uang pesangon dihilangkan, UMP, UMK, UMSP dihapus, upah buruh dihitung per jam, semua hak cuti hilang dan tidak ada kompensasi.
Selanjutnya, outsourcing akan diganti dengan kontrak seumur hidup, tidak akan ada lagi status karyawan tetap dan pihak perusahaan dapat melakukan PHK kapanpun secara sepihak.
Tak hanya itu, jaminan sosial dan kesejahteraan akan hilang. Semua karyawan berstatus tenaga harian, tenaga kasar asing bebas masuk, buruh dilarang protes karena adanya ancaman PHK, libur hari raya hanya ada pada tanggal merah, dan tidak ada penambahan cuti.
Maka dari itu, seluruh karyawan khususnya kader diminta untuk mengkampanyekan penolakan UU Ciptaker ini melalui demo digital Morowali melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, dan social media lainnya.
Serikat Pekerja Nasional (SPN) mengerti bahwa pandemi COVID-19 masih mewabah, maka dari itu mereka memilih untuk demo digital Morowali melalui media sosial daripada turun ke jalanan beraksi yang dapat membahayakan kesehatan para anggota, sesuai dengan anjuran pihak kepolisian setempat. Dengan demo digital Morowali, mereka berharap banyak pekerja yang teredukasi tanpa harus membuat kericuhan yang merugikan berbagai elemen.
Tercatat per 9 Oktober 2020, pandemi COVID-19 masih belum berakhir. Sedangkan angka terinfeksi positif COVID-19 semakin meningkat dengan jumlah 321 ribu orang positif.
Pemerintah telah menganjurkan untuk menjalankan protokol kesehatan selama pandemi COVID-19 masih mewabah. Salah satunya adalah menjaga jarak dan tidak berkerumunan dalam jumlah banyak.
Demo adalah salah satu bentuk kegiatan berkerumun dengan jumlah banyak yang berpotensi memunculkan klaster COVID-19 baru. Selain membahayakan kesehatan bersama, demo di berbagai daerah yang berujung ricuh malah akan meresahkan keamanan sekitar sekaligus rusaknya fasum (fasilitas umum).
Jika diketahui ada klaster COVID-19 baru dari kegiatan berdemo, siapa yang akan bertanggung jawab? Apakah kegiatan ini malah nampak terlihat egois dan malah membahayakan kesehatan banyak orang? Bagaimana menurut Anda?