JAKARTA, KOMPAS.com – Perwakilan buruh perempuan dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Sumiyati mengatakan, Undang-Undang Cipta Kerja sangat merugikan para pekerja, khususnya perempuan.
” Perempuan sangat mengalami dampak yang paling besar, karena kondisi budaya patriarki yang mempengaruhi kebijakan negara Indonesia,” ujar Sumiyati dalam konferensi pers “Buruh Perempuan Tolak Omnibus Law Cipta Kerja”, Senin (19/10/2020).
Sumiyati mengatakan, sejatinya Undang-undang Cipta Kerja ini diciptakan untuk penciptaan lapangan pekerjaan.
Namun, ia menilai, faktanya perlindungan terhadap tenaga kerja ini justru diabaikan, khususnya terhadap perempuan.
“Kita lihat bahwa ada beberapa hal yang dialami buruh-buruh perempuan dari rentannya proses kontrak yang semakin tidak jelas karena tidak ada batasannya,” ucap dia.
Ia mencontohkan Pasal 59 Ayat (1) huruf b dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang diubah dengan UU Cipta Kerja. Dalam UU Cipta Kerja (draf 812 halaman), ini terdapat dalam Pasal 81.
Pergantian batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya “tiga tahun” sebagai salah satu kriteria perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi “tidak terlalu lama”.
Hal ini, bisa menyebabkan pengusaha leluasa menafsirkan frasa tersebut.
“Bahwa di Undang-undang yang lama, Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur ada maksimal tiga tahun paling lama, tapi dihilangkan,” ucap Sumiyati.
Selain itu, ia juga menyoroti aturan mengenai outsourcing di UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Dalam aturan baru, tidak ada pembatasan bidang untuk pekerja outsourcing.
“Artinya, itu bisa menjadi perubahan tenaga kerja, yang permanen berpotensinya menjadi tenaga kerja kontrak,” ujar Sumiyati.
“Apalagi ketika diperlakukan batasan kontrak, kemudian adanya alih daya ini semakin perempuan sangat dirugikan dalam kondisi ini,” tutur dia.
#Cipta #Kerja #Dinilai #Abai #terhadap #Perlindungan #Buruh #Perempuan
Klik disini untuk lihat artikel asli