JAKARTA, KOMPAS.com – Sekretaris Jenderal Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Said Salahudin menilai, mengamendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) secara politik tidak realistis.
Menurut dia, agenda untuk mengatur ulang soal haluan negara dan terkait masa jabatan Presiden bisa dibicarakan pasca Pemilu 2024.
“Oleh sebab itu, dalam rangka menyongsong penyelenggaraan Pemilu 2024 yang tenang dan damai, saya kira sebaiknya kita akhiri saja wacana amendemen UUD 1945, baik terkait isu masa jabatan Presiden maupun isu lain semisal pengaturan GBHN atau PPHN,” kata Said dalam keterangannya, Minggu (12/9/2021).
Menguatkan alasannya, ia pun mengungkit pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kembali menolak wacana tiga periode dan perpanjangan masa jabatan Presiden.
Hal tersebut sebagaimana disampaikan Juru Bicara Presiden, Sabtu (11/9/2021). Menurut Said, semestinya pernyataan itu sudah lebih dari cukup untuk mengakhiri diskursus mengenai isu amendemen.
“Jadi, parpol dan relawan pendukung Pemerintah semestinya memiliki kepekaan terhadap sinyal yang dikirimkan oleh Istana. Hal itu harus dibaca sebagai political will Presiden. Itulah kehendak yang kuat dan sejati dari Presiden,” jelasnya.
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Daftarkan email
Said berpendapat, jika suatu isu sampai ditegaskan berulang-ulang oleh Presiden, maka pasti ada intensi dan pesan yang ingin disampaikan.
“Nah, salah satu yang bisa kita tangkap dari pernyataan itu adalah Presiden bermaksud memberikan peringatan kepada para pengusung dan pendukung gagasan tersebut untuk menyudahi wacana itu,” tutur dia.
Terlebih, lanjut Said, Presiden Jokowi sudah pernah mengatakan hanya ada tiga kemungkinan motif di balik isu perpanjangan masa jabatan presiden.
Pertama, terang dia, pihak yang mengusung ide tersebut ingin mencari muka di hadapan Presiden.
“Kedua, ingin menampar wajah Presiden, atau bahkan ingin menjerumuskan Presiden,” imbuh Said.
Oleh karena itu, PKP diakuinya mengajak semua elite politik terutama partai politik pendukung pemerintah untuk mendukung komitmen Jokowi.
Partai politik pendukung, kata dia, harus berani bersuara dan jangan lagi mengayun dalam menyampaikan sikap politik.
“Perlu ada ketegasan agar tidak muncul ambiguitas yang membuat rakyat menjadi bingung,” ungkapnya.
Said berpandangan, bagi PKP, pernyataan Presiden yang menolak wacana itu sudah menunjukkan kesungguhan ingin menjaga amanat reformasi dan konsisten pada kehendak konstitusi untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Menurutnya, dalam sistem presidensial masa jabatan presiden bersifat tetap atau fixed term dan mutlak dibatasi.
“Itulah esensi yang saya tangkap dari pembicaraan kami dengan presiden di Istana Negara beberapa waktu lalu,” imbuh dia.
Selain itu, Said mengungkap alasan lain jika wacana amendemen tetap digulirkan. Salah satunya adalah konsekuensi masa jabatan anggota DPR yang juga akan diperpanjang.
Ia berpandangan, hal tersebut sudah barang tentu sangat merugikan PKP yang sudah sangat siap mengikuti Pemilu 2024.
“Kader kami di seluruh Indonesia hari ini sedang giat-giatnya, sedang semangat-semangatnya mempersiapkan diri untuk masuk ke gedung Parlemen di Senayan. Apalagi saat ini sedang terjadi gelombang besar bergabungnya kader dari parpol lain ke dalam gerbong PKP di berbagai daerah,” jelasnya.
Lebih lanjut, Said menilai agenda untuk memuat kembali pengaturan mengenai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) ke dalam UUD 1945 tidak realistis untuk dilakukan saat ini.
Sebab, kata dia, dari sisi waktu jelas tidak mungkin. Ia menjelaskan bahwa tahun 2021 hanya tersisa tiga bulan.
Kemudian, tahun 2022 partai politik sudah disibukkan dengan kegiatan pendaftaran peserta Pemilu.
“Tahun 2023 sudah masuk masa kampanye. Tahun 2024 sudah masuk Pemilu dan Pilkada. Jadi, mustahil bagi parpol yang mempunyai kursi di MPR, termasuk dari unsur anggota DPD dapat berkonsentrasi untuk melaksanakan amendemen sebelum Pemilu 2024,” terangnya.
Ia mengingatkan, amendemen UUD 1945 juga tidak boleh dilakukan asal-asalan. Menurutnya, diperlukan waktu yang cukup dan ketenangan pikiran dari anggota DPR dan anggota DPD yang duduk di MPR untuk membahas gagasan GBHN atau PPHN.
Di sisi lain, ruang partisipasi juga harus dibuka seluas-luasnya dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat.
“Maka, semua hal itu bisa dibahas dan dibicarakan secara lebih tenang pasca Pemilu 2024,” pungkasnya.
Diketahui wacana amendemen UUD 1945 muncul kembali ketika Ketua MPR Bambang Soesatyo pada 18 Agustus 2021 lalu menyatakan bahwa amendemen perlu dilakukan.
Bambang menuturkan amendemen dilakukan untuk memberikan kewenangan bagi MPR untuk menetapkan PPHN.
Dalam pandangannya, PPHN dibutuhkan untuk pedoman atau arah penyelenggaraan negara. Maka Bangsa Indonesia tak lantas berganti haluan setiap pergantian presiden-wakil presiden.
#Sekjen #PKP #Sarankan #Isu #Amendemen #UUD #Diakhiri #Ini #Alasannya #Halaman
Klik disini untuk lihat artikel asli