JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Utama RSUP Persahabatan sekaligus Dokter Spesialis Paru, Agus Dwi Susanto menyarankan, masyarakat kelompok sensitif untuk tidak berolahraga di luar ruangan saat polusi udara memburuk.
Sebab, kelompok tersebut merupakan kelompok yang paling berisiko dan lebih sensitif terhadap polusi. Kelompok tersebut di antaranya ibu hamil, serta pengidap penyakit paru dan jantung.
“Pada populasi yang sudah sensitif, katakanlah ibu hamil, orang dengan penyakit paru dan jantung, ini adalah orang-orang yang tidak disarankan untuk berolahraga outdoor pada saat polusi, meskipun kadar quality-nya masih dalam kategori tidak sehat (AQI 150),” kata Agus dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Sejatinya, kata Agus, berolahraga di luar ruangan saat polusi memburuk perlu mempertimbangkan 3 aspek.
Pertama, adalah level polutan. Jika indeks kualitas udara (air quality index/AQI) di atas 300, maka olahraga di luar ruangan tidak di sarankan sama sekali untuk kelompok manapun.
Kedua adalah kelompok masyarakat. Jika kelompok masyarakat berada dalam kategori sensitif seperti ibu hamil dan pengidap penyakit paru dan jantung, maka olahraga tidak disarankan meski indeks kualitas udara masih di level 150.
Ketiga adalah jenis olahraganya, olahraga ringan (low impact) atau olahraga berat (high impact).
“Kalau kita olahraga itu kebutuhan oksigennya tinggi. Kalau high impact, semakin banyak frekuensi, napas kita yang akan semakin meningkat. Sehingga kalau kita berolahraga di luar ruangan itu akan menghirup oksigen yang lebih banyak,” ucap Agus.
Selain jenis olahraga, kata Agus, waktu berolahraga juga perlu dipertimbangkan.
Jika olahraga lebih ringan, maka waktu yang boleh atau direkomendasikan lebih panjang dibandingkan olahraga berat.
Di sisi lain, masyarakat juga bisa mempertimbangkan untuk menggunakan masker khusus olahraga. Dengan begitu, waktu olahraga akan lebih lama karena masker mampu memfiltrasi partikel polutan.
“Misal kategori tidak sehat (kuning), maka itu bisa sampai 1 jam. Tapi kalau kategori lebih tinggi (oranye) itu 30 menit saja atau kurang dari 30 menit. Kalau sudah black atau coklat, sama sekali tidak boleh,” tutur Agus.
“Nah, kalau high impact itu bisa lebih pendek waktunya karena membutuhkan frekuensi napas yang lebih tinggi. Dalam kategori yang tidak sehat mungkin dia akan butuh hanya 30 menit, pada saat oranye enggak boleh lama-lama, apalagi yang hitam enggak boleh sama sekali,” imbuhnya.
Sebagai informasi, polusi udara di Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat. Demikian pula di kota lainnya seperti Tangerang Selatan, Mempawah di Kalimantan Barat, Serang Banten, dan Banjar Baru di Kalimantan Selatan.
Kondisi ini dapat menimbulkan dampak kesehatan pada masyarakat. WHO mencatat saat ini, 90 persen penduduk dunia menghirup udara dengan kualitas udara yang kumuh.
Menurut WHO, setiap tahun ada 7 juta kematian, dan 2 juta di antaranya di Asia Tenggara berhubungan dengan polusi udara di luar dan dalam ruangan.
Polusi udara berkaitan erat dengan penyakit paru dan pernapasan, serta infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA, asma, bronkitis, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kanker paru, serta penyakit jantung dan stroke.
Menurut data WHO pula, polusi udara di seluruh dunia berkontribusi 25 persen pada seluruh penyakit dan kematian akibat kanker paru, 17 persen seluruh penyakit dan kematian akibat ISPA, 16 persen seluruh kematian akibat stroke, 15 persen seluruh kematian akibat penyakit jantung sistemik, dan 8 persen seluruh penyakit dan kematian PPOK.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
#Dokter #Paru #Sarankan #Kelompok #Sensitif #Hindari #Olahraga #Luar #Ruangan #Saat #Polusi #Memburuk
Klik disini untuk lihat artikel asli