Bagi Anda anak tambang Indonesia yang bergelut di dunia tersebut, siap-siap di tahun depan mendulang cuan. Sebab, menurut laporan dari Bursa Efek Indonesia (BEI), sejak awal tahun 2020 indeks sektor pertambangan menguat hingga 13,48%. Di saat indeks sektoral masih turun menujam, indek sektor pertambangan menjadi satu-satunya yang menghijau alias berada di batas normal.
Kinerja indeks sektor pertambangan juga dinilai lebih baik dibanding indeks harga saham gabungan (IHSG) yang tertekan di angka 7,76%. Hal ini menjadikan sektor pertambangan memiliki prospek yang masih menarik hingga tahun depan.
Hal ini diamini oleh CIO of Star Asset Management, Erindra Krisnawan, yang mengatakan bahwa sektor pertambangan akan terdorong sentimen makro yang positif. Beberapa alasannya adalah adanya potensi perbaikan permintaan setelah pandemi COVID-19. Pasokan barang akan menyesuaikan permintaan sehingga komoditas dapat berpeluang meningkat Tak hanya itu, bank sentral dunia akan mengeluarkan pernyataan untuk mempertahankan suku bunga rendah serta quantitative easing.
Selain itu, kemenangan Joe Biden juga menjadi alasan dari ciamiknya sektor pertambangan. Kemenangan presiden AS (Amerika Serikat) yang terbaru akan berkontribusi positif sebab dolar AS akan cenderung tertekan. Di sisi lain, Joe Biden dianggap memiliki kebijakan perdagangan yang lebih sehat melalui green industries. Ini menjadi angin segar bagi industri yang berfokus pada produksi electric vehicle, salah satunya baterai lithium yang membutuhkan bahan baku nikel.
Akan tetapi, Erindra melihat bahwa saat ini komoditas nikel saat ini sudah price-in. Ini disebabkan karena harga nikel telah kembali normal sebab permintaan dari China untuk pembuatan stainless steel.
Menurutnya, secara jangka pendek harga nikel akan berada di level baru yakni US$ 15.000 hingga US$ 16.000 per ton. Sedangkan di tahun 2021, harga nikel berpeluang turun ke angka US$ 14.000 per ton.
Senior Analis PT Indo Premier Sekuritas, Timothy Handerson, memberikan pernyataan pula mengenai potensi sektor di masa depan. Baginya, dengan adanya dukungan kepada green industries akan berpengaruh, khususnya industri berbasis fosil seperti batubara.
Walaupun pada Mei 2020 harga batubara sempat merosot di angka US$ 50 per ton, namun kini telah naik 50% menjadi US$ 74 per ton. Kabar baik bagi dunia batubara karena masih memiliki potensi untuk terus membaik. Timothy menambahkan, winter seasonality juga berpengaruh pada harga batubara.
“Jika China mengalami musim dingin yang lama dan berat, maka harga batubara akan berpotensi naik. Jika yang terjadi sebaliknya, maka harga batubara akan berada di angka kisaran US$ 70 per ton hingga US$ 75 per ton.
Menurut pengamatan Timothy, regulasi di tahun 2020 akan berpengaruh positif bagi sektor pertambangan. Seperti UU Minerba yang disahkan pada Mei 2020 yakni pada poin sentralisasi otoritas yang dialihkan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.
Sentralisasi ini akan berdampak positif, sebab dapat memperbaiki rantai pasokan batubara. Kemudian ada pula perpanjangan lisensi untuk penambang besar karena adanya kepastian kelanjutan contract of work (COW) dan coal contract of work (CCOW).
Tak hanya UU Minerba, Omnibus Law Ciptaker yang menerapkan 0% royalty rate untuk hilirisasi batubara akan memberikan sentimen positif bagi produsen mineral tersebut.
Bagaimana anak tambang Indonesia? Sudah siap menerima pundi-pundi cuan di dunia pertambangan?